Menyelamatkan Wajah Pers Sebuah Catatan di Hari Pers Nasional

  • Whatsapp

Oleh Achmad Fauzi

Mantan Jurnalis dan Pengusaha Muda tinggal di Sumenep

Muat Lebih

PERINGATAN Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2016 kali ini tentu akan menjadi momentum refleksi bagi seluruh awak media di segala penjuru negeri. Mengembalikan pers pada “akhlaknya” adalah harapan kita semua. Perayaan puncak HPN di Lombok, NTB hari ini tentu diharapkan tidak hanya sekadar foya-foya dan megah dalam bingkai seremonial belaka, tetapi membawa manfaat bagi masa depan pers Indonesia yang lebih baik, profesional dan bermartabat.

Harapan itu tentu tidak mengada-ngada, tetapi memang sesuai dengan fakta. Sebab jika menengok beberapa dasawarsa belakangan ini, tak dapat dipungkiri, pers kita mulai kehilangan akar yang kuat. Akar yang menjadikan pers memiliki benteng yang kokoh dan bermartabat. Bahkan pasca orde baru runtuh, pers selalu mengedepakan kepentinga rakyat dan menjadi nafas dari empat pilar demokrasi.

Namun, apalagi dikata, perjuangan para kuli tinta harus dibayar dengan nista. Produk mereka menuai cibiran, bahkan ada yang mulai tidak simpati kepada pers. Di satu sisi memang tidak dapat disalahkan jika melihat gelagat pers yang mulai keluar dari “rukun” jurnalistiknya. Bisa disaksikan sendiri, tak sedikit para “kuli tinta” acapkali menjual kesadisan, membuat belepotan darah, suka pada pornografi hingga keluar dari kaidah jurnalistik. Akhirnya, masyarakat mulai kehilangan simpati terhadap pers. Padahal pasca orde baru runtuh, pers kita adalah senjata ampuh bagi rakyat ketika keadilan terpasung oleh kekuasaan.
Melihat realitas sekarang ini, suguhan beberapa peristiwa menyedihkan terjadi di negeri ini. Tak sedikit, media menerima amok massa dari masyarakat. Kantor dibakar hingga ada beberapa media dibredel lantaran tidak patuh pada rukun iman jurnalistik.

Belum lagi, pada tahun 2015 adalah tahun kelabu para kuli tinta. Sebab berdasarkan dara yang dirilis oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), sepanjang 2015, kekerasan terhadap jurnalis kian meningkat, dari 40 kasus menjadi 43 kasus.

Inilah sisa-sisa problema yang harus direspon cepat pada HPN kali ini. Dewan Pers sebagai benteng terakhir pengontrol akhlak para kuli tinta harus membuat desain jitu dan regulasi khusus agar para media tidak berjalan sesuai kemamuannya sendiri. Jika tetap dibiarkan menggelinding bak bola salju, maka jangan salahkan masyarakat kalau menghujat dan tidak simpati bagi pers.

Cerdas memilih

Solusi dari problem ini, hemat saya tidak hanya dibebankan kepada Dewan Pers, LBHP atau KPI, tetapi juga berada di tangan publik. Karena publik yang menilai dan mengoreksi. Memilih media yang sehat, berkualitas dan profesional juga merupakan salah satu langkah untuk mendukung pers yang semakin maju dan bermutu.

Sebagai orang yang pernah bergelut dengan dunia jurnalis, saya meyakini bahwa ada seleksi alam dalam hal apapun. Hanya media yang berkualitas dan profesional yang mampu bertahan. Sementara media yang “abal-abal”, suka menjual kesadisan (kurang santun), dan membuat belepotan darah akan habis dengan sendirinya.
Sebab saban hari kita akan selalu dihidangkan oleh informasi di media massa, baik cetak maupun elektronik.

Dapat dibayangkan, sebanyak 1.771 perusahaan media berdiri di Indonesia pas orde baru runtuh atau pada pasca pemilu 1999. Tentu, dari ribuan media itu, mereka berlomba-lomba untuk menurunkan informasi berdasarkan karakter media itu sendiri.
Belum lagi digitalisasi telah membuat jumlah media online meningkat. Saat ini ada sekitar 2.000 media online ada. Lalu, pertanyaannya, dari 2.000 media online apakah memiliki kelayakan sebagai perusahaan dan sesuai dengan kode etik jurnalistik? Jawabannya tentu tidak, sebab berdasarkan data terbaru yang dirilis oleh Dewan Pers, hanya 211 media saja yang memiliki kelayakan sebagai perusahaan dan sesuai dengan kaidah jurnalistik. Oleh karena itu, kejituan memilih media yang mendidik dan profesional merupakan salah langkah untuk mendukung pers yang bermutu.

Karena hemat penulis, tumbuh suburnya media baru, juga akan membuka persoalan baru. Penerapan etika jurnalistik dan independensi media dalam pemberitaan menjadi perhatian utama dalam menyelamatkan wajah pers kita yang tak lagi ayu. Dengan demikian, masyarakat juga ikut andil menyelamatkan wajah pers dengan cara memilih media yang tepat, profesional dan berkualitas.

Peace Jurnalism

Berita yang menarik itu memang diperlukan, tetapi tidak selamanya yang menarik harus bombastis, apalagi sadis dan cabul. Karena pers sejatinya sebagai penegak demokrasi dengan menjunjung nilai-nilai keadilan, bukan hanya berfokus pada mengejar rating, tiras, atau apalah namanya itu yang berujung pada keuntungan saja, jauh lebih besar dari itu, pers adalah mampu mencerdaskan, bukan menyesatkan.
Jika itu terjadi, akhirnya, gema kebebesan pers dalam cibiran rakyat. Sungguh, mengelus dada pun tidak cukup ketika mendengar nada sinis “Wartawan ya, ah…..pasti cari kasus dan ujung-ujungnya uang”.

Namun, semua itu harus menjadi renungan tersendiri bagi pelaku profesioanlisme jurnalis, kondisi apa yang menyebabkan sinisme itu banyak ditemukan, apakah persoalan demokrasi yang tak matang, pendidikan yang masih limbung, ataukah karena etika dan pekerjaan pers itu sendiri yang memang tidak mendidik masyarakat menjadi cerdas.

Jawabannya simple, dunia jurnalisme sudah mengalami shifting paradigm; era jurnalisme negatif. Dimana jargon ‘bad news is a good news’ marak diusung oleh berbagai media, mulai dari media nasional hingga lokal. Akibatnya, masyarakat mulai jengah dengan pemberitaan bombastis yang bersifat menghasut dan propagandis. Maka menghadirkan jurnalisme yang damai, santun dan tidak berbau sadis hingga cabul juga perlu dilakukan semua media. Agar pers betul-betul sesuai fungsinya, tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga mencerdaskan dan mendidik. Selamat Hari Pers Nasional.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.