Pileg, “Perang” Pemilik Modal, Butuh Miliaran Rupiah Untuk Raup Suara

  • Whatsapp

Madurazone.co, Sumenep – Pesta Demokrasi, pemilu legislatif (Pileg) sudah usai digelar di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Namun, pesta lima tahunan itu masih menyisakan tanda tanya bagi publik di Kabupaten ujung Timur Pulau Madura.

Sebab, desas desus yang berkembang untuk melenggang ke kursi parlemen harus mengeluarkan “cost politik” yang cukup tinggi. Informasinya, Biaya operasional untuk caleg yang mau masuk ke DPRD tak kurang dari Rp 1 miliar. Angka ini tentu cukup fantastis untuk mendapatkan kursi panas wakil rakyat.

Muat Lebih

Bahkan, informasi yang berkembang di gedung dewan, ada caleg jadi yang sampai menghabiskan dana lebih dari Rp 3 miliar. Biaya ini tentu lebih besar dibandingkan dengan periode sebelumnya. Maklum saja, operasional masyarakat itu untuk satu suara paling rendah Rp 50 ribu, bahkan ada yang lebih Rp 100 ribu. Belum termasuk biaya tim.

Belum termasuk APK (Alat Peraga Kampanye), misalnya banner dan Kaos. “Biaya politik memang cukup besar dibandingkan dengan periode sebelumnya, ” kata M anggota dewan yang juga menjadi Caleg lalu.

Sebab, sambung dia, biaya operasional yang dikeluarkan memang cukup tinggi. Bahkan, ada sampai tiga kali lipat dari periode sebelumnya. “Mungkin operasional politik itu paling rendah Rp 1 miliar. Kabarnya ada yang lebih dari itu,” ungkapnya.

Hal yang sama diungkapkan angota dewan yang juga caleg M. Ramzi. Menurutnya, biaya operasional jauh lebih tinggi dari periode sebelumnya. “Bisa jadi satu miliar lebih, bahkan saya dengar ada yang sampai lebih Rp 3 miliar. Tapi itu perlu dikroscek kebenarannya. Takut hanya sekadar isu,” tuturnya.

Bisa jadi, terang politis Hanura ini, angka yang cukup besar itu terjadi kepada caleg baru untuk jadi. Sebab, masih pengenalan. “Kalau caleg baru mungkin memang besar. Atau bisa jadi, incumbent tak begitu peduli terhadap konstituenya. Jadi butuh biaya besar, ” ungkapnya.

Anggota komisi III ini menuturkan, pihaknya menyesalkan banyaknya operasional yang sangat tinggi itu. Ini menandakan jika idealisme lebih mengarah pada pragmatisme. “Saya yakin ini pasti ada yang salah. Semoga ke depan lebih baik, ” tukasnya. (nz/yt)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.