Oleh ; NIA KURNIA FAUZI, Ketua GOW dan Anggota DPRD Sumenep
Hampir satu bulan, umat Islam menjalani Ibadah Puasa Ramadhan. Otomatis, kita sudah berada di penghujung bulan penuh berkah. Rasa gelisah tentu menghantui umat Islam seluruh dunia, lantaran akan berpisah dengan bulan, yang didalamnya penuh dengan rahmat, ampunan, dan segala doa diijabah oleh Allah, Swt. Bulan ini menjadi penentu “kebaikan” manusia di bulan berikutnya.
Maka wajar di bulan suci, umat Islam berlomba untuk memberikan yang terbaik kepada Tuhannya. baik yang diimplementasikan pasa hubungan vertikal dengan Allah, melakukan ritual-ritual ke-Islaman seperti tadarus, dzikir, memperbanyak salat dan lainnya. Termasuk juga hubungan horisontal dengan sesama, yakni dengan mempedulikan sesama. Kebaikan yang dilakukan di bulan ini tentu akan bermuara pada Allah, Tuhan semesta Alam (Spot God).
Apakah Puasa hanya sebatas ritual belaka?, Jawabannya tentu tidak. Puasa hadir tak hanya sekadar ritual belaka, melainkan membawa pesan nilai yang perlu dilakukan oleh umat Islam. Sebab, tak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga setiap hari selama satu bulan penuh, tapi didalamnya terdapat nilai-nilai agung, yang jika diterapkan akan membawa derajat manusia kepada yang lebih tinggi.
Nilai yang paling penting diharapkan dengan menjalankan puasa adalah bisa menahan segala bentuk hawa nafsu dari berbuat jelek, fitnah, keji, iri, dengki, amarah dan segala bentuk keburukan yang merusak manusia. Dan, ini harus diperangi oleh manusia, apalagi jihad paling besar adalah berperang melawan hawa nafsu, bukan perang antar suku, ras maupun agama. Otomatis, kehidupan berjalan secara humanis.
Sebab, satu-satunya yang bisa mengendalikan hawa nafsu “kebinatangan” manusia adalah puasa. Karena salah satu tugas pokok puasa adalah pengendalian, pelatihan dan penyucian hawa nafsu. Maka lewat puasa, fungsi hawa nafsu yang hanya menginginkan kelezatan duniawi, menyenangkan bagi jasad dan bersifat fisik material bisa pelan-pelan dikendalikan dari umat Muhammad ini.
Tapi, perlu ditegaskan hawa nafsu tidak perlu dimatikan, karena manusia punya keinginan untuk melanjutkan hidup di bumi sebagai khalifah fil ardhi. Sebab, hawa nafsu perlu dikendalikan agar tidak menjadi budaknya. Maka keberadaanya harus terus didorong, salah satunya lewat puasa untuk bisa menjadi mutmainnah, dengan muara mendekatkan diri kepada Allah, swt.
Maka dari itu, diperlukan puasa yang menyeluruh, tidak hanya dhahir, juga batin. Tidak hanya menahan dahaga dan lapar, tapi harus bisa menyucikan. Sebab, ketika hati dalam keadaan suci, segala tindakan akan bermuara kebaikan. Hati manusia yang menggerakan seseorang, ketika hati suci maka segala tindakannya akan “suci” pula. Disinilah pentingnya menjaga kesucian dan kemurnian hati.
Disamping itu, puasa juga melatih insan untuk memerhatikan lingkungan sekitar yang kurang mampu. Saat haus dan lapar, tentu saja kita mengingat orang-orang yang hidupnya berada pada garis kemiskinan. Di mana setiap harinya pontang panting untuk melengkapi urusan perut. Betapa “sengsara” saat lapar melanda. Maka dengan begitu, bisa melahirkan empati dan simpati untuk berbagi kepada sesama.
Dengan kondisi semacam itu, maka kelebihan rezeki yang dimiliki tidak akan dihamburkan-hamburkan untuk hal yang tak penting. Sebab, puasa mengajarkan untuk tidak berlebih-lebihan termasuk saat berbuka puasa. Apalagi, Allah tidak suka dengan orang-orang yang hanya berlebihan. Sifat itu hanya dimiliki oleh syaitan yang didorong hawa nafsu. Sehingga, puasa bisa memberikan spirit kepada kita akan rasa tawadhu dan rendah hati.
Selain itu, puasa juga mendorong manusia untuk bersikap ikhlas, tawakkal dan pasrah kepada Allah. Puasa bukanlah kerja otak, yang hanya bisa mendorong kewaswasan dalam menjalankannya. Maka, apapun yang terjadi selama puasa, diterima dengan lapang dada dan pasrah dengan harapan mengharap Ridha Allah, swt, dan mendapatkan balasan jannahnya. Inilah pentingnya memuasakan jiwa bukan raga.
Yang terpenting, harus disadari puasa itu bagian dari bentuk ketaatan dan kepatuhan umat Islam kepada sang khaliq. Apapun yang menjadi perintahnya, harus dijalankan apalagi bersifat wajib. Keberadaan puasa bukan hal baru dan tabu, sebab sebelum Nabi Muhammad, nabi-nabi terdahulu telah melakukan ritual puasa, meski metodenya berbeda dengan apa yang dilakukan saat ini.
Sebut saja, Nabi Nuh yang berpuasa di atas perahu saat diterjang badai, dan menyapu umat yang tidak percaya kepada Allah. Dalam sebuah keterangan Nabi Nuh berpuasa setahun penuh, kecuali dua hari raya. Ada Nabi Ibrahim As, yang juga berpuasa saat raja Namrud memerintah mengumpulkan kayu untuk membakar dirinya. Nabi Musa juga berpuasa saat hendak “bertemu” Allah di Tursina, selama 40 hari. Ada juga nabi Yusuf saat di tahanan kala difitnah, Nabi Yunus berpuasa di dalam perut Ikan. Bahkan, Nabi Daud juga berpuasa, namun ebih terstruktur, yakni satu hari puasa dan satu hari tidak.
Nah, dengan begitu maka puasa menjadi kewajiban manusia lintas periode kenabian. Maka, tidak ada alasan untuk tidak melakukannya. Terlepas yang dijalankan hanya ala kadarnya (awam), atau meminjam istilah Al-Ghazali, puasa dalam konteks khusus muapun khawasulkhusus. Semua apa yang dilakukan biar Tuhan yang menilai, yang penting patuh dan taat saja. Dan, selalu introspeksi diri untuk lebih baik. Wallahua’lam bisshawab. (***)