Oleh : NIA KURNIA FAUZI, Ketua GOW dan Anggota DPRD Sumenep
Perayaan hari lahir pancasila sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Sebab, digelar di tengah negara berduka “memerangi” penyebaran coronavirus atau covid 19 yang datang cukup lama di Nusantara ini. Namun, sakralitas perayaan akan lahirnya falsafah bangsa dipastikan tetap terasa di hati para insan di bumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Maklum, pancasila tak hanya diidentikkan sebagai sebuah ideologi bangsa, tapi ia menjadi prinsip dan pegangan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Ia akan menjadi penuntun dalam setiap tindakan yang dilakukan. Lantaran lima sila yang ada sudah mencerminkan nilai luhur sosio kultural masyarakat Nusantara. Kontektualisasi penerapan sudah sesuai, sebab terdapat dialektika panjang dalam kelahirannya.
Tentu, sudah menjadi keharusan kita untuk bisa mengamalkan setiap sila yang ada. Istilahnya, saat ini kita harus bermental pancasila. Seperti apa?, Tentu tidak sulit, karena sejak awal berada di Indonesia sudah diatur oleh ikatan nilai (values) dan norma yang sudah mengikat. Sekaligus mencerminkan nilai luhur pancasila sesuai cita-cita founding Father, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Yamin dan lainnya.
Dalam menghadirkan pancasila di perilaku kita, sangat mudah. Sebab, sudah terbiasa dilakukan. Hanya saja tingal melakukan revitalisasi dan meningkatkan spirit pancasilais dalam sikap dan perilaku. Dalam segala tindakan yang dilakukan bisa mencerminkan Berketuhanan, Bersosial dan Bernegara. Ini bagian dari pedoman yang perlu dijalankan. Dengan pegangan itu, “selamatlah” insan manusia di bumi Nusantara ini..
Rasa berketuhan sudah menjadi kebiasaan bagi yang beragama. Mereka menjalankan ritual sesuai dengan keyakinan agamanya, termasuk umat Islam di dalamnya. Keyakinan akan adanya Tuhan dan menjalankan ajarannya sudah menjadi keharusan. Maka, segala perintahnya diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Apalagi, dengan keyakinan jika Tuhan, Immateri yang mampu menggerakkan manusia . Otomatis, segala tindakan bermuara pada Tuhan, selaku god spot kehidupan.
Tingkatkan keyakinan kepada Tuhan, Allah akan berimplikasi baik pada kehidupan sosialnya. Semakin dekat dengan Tuhan, semakin baik pulalah dengan keluarga, kerabat, tentangga dan elemen sosial lainnya. Karena dengan karuniNYA memancarkan kesucian hati, dan bisa menghadirkan rasa kepedulian, kepekaan dan rasa tenggang rasa dengan sesama. Nilai sosial ini akan membawa kepada kebaikan seluruh masyarakat, dengan muaranya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali pernah menyebut bahwa, orang yang dekat dengan Tuhan tidak akan petentang petenteng mengaku dirinya dekat dan bercinta dengan Allah, Tapi orang yang dekat ditunjukkan dengan baiknya kepada keluarga dan tetangganya. Dari sini, maka kehidupan sosial itu juga ditentukan dengan nilai keimanan kita kepada Allah, Tuhan pencipta alam.
Konteks sosial amalam pancasila di era ini, kita bisa melahirkan rasa gotong royong dalam berbagi antara sesama. Para kaum elit, bisa memberikan sebagian hartanya dalam membantu sesama, terdampak Pandemi virus dari Wuhan, Tiongkok ini. Sebab, di Indonesia sudah banyak warga terdampak, mulai dari pemutusan kerja, hingga mata pencaharian yang terputus. Maka sudah menjadi kewajiban untuk saling membantu.
Bagi kalangan kelas menengah ke bawah -misalnya- yang tak bisa membantu maka bisa bergotong royong dalam konteks yang berbeda. Yakni, bersama memutus mata rantai peredaran covid 19. Salah satunya, dengan memerhatikan protokol kesehatan. Meminjam istilah pemerintah, saat ini yang diperlukan adalah melakukan tindakan gotong royong. Intinya, “Kebaikan” sosial ini tak hanya berlaku di saat Pandemi, harus terus berkesinambungan.
Dalam konteks bernegara bisa ditunjukkan dengan peningkatan rasa nasionalisme dan patriotisme dalam tubuh masing-masing. Dengan begitu, maka rasa cinta kepada bangsa dan negara akan semaki tinggi. Maka, berpikir pada kemajuan pembangunan Indonesia menjadi hal wajib dilakukan. Berpikir bahwa Indonesia Always The Best.
Dari kecamata paling kecil, menghadirkan pancasila adalah menghadirkan perilaku baik. Bagi kaum elitis, politisi dan birokrat menunjukkan dengan menjadi sosok pribadi bersih, berintegritas dan selalu mengedepankan kepentingan bangsa daripada pribadi dan golongan. Sebab, Indonesia bisa jaya dan berkibar jika semua elemen bisa bergotong royong dalam membangunnya. Negara menjadi tujuan utama.
Hal ini sebagaiman ditunjukkan para dekalator bangsa. Di mana selalu memikirkan kemaslahatan umat daipada ego sektoralnya. Salah satunya, saat merumuskan Pancasila menjadi dasar negara. Dalam pembahasannya terjadi dialektika yang sangat panjang dan terkesan buntu sejak 28 Mei 1945, saat sidang perdana dimulai. Tak ada titik temu, untuk kepentingan bersama, yang bisa mengakomodir segala kepentingan.
Kebuntuan itupun baru terjawab dengan pidato Soekarno tanpa teks di tanggal 1 Juni 1945. Yang kemudian menjadi rancangan perumusan dasar negara. Di mana di bahas dalam panitia sembilan. Dan, lahirlah Pancasila sebagai Ideologi bangsa yang harus melekat dalam setiap sanubari anak negeri. “Selamat Hari Lahir Pancasila”. (****)