Oleh. MOH. HAYAT, Jurnalis
Hari Pers Nasional (HPN) yang selalu diperingati tanggal 9 Februari dalam setiap tahunnya menjadi catatan tersendiri bagi saya sebagai seorang Jurnalis. Sebab, perkembangan pers di Indonesia tumbuh subur, bak jamur di musim penghujan. Hal ini ditandai dengan kehadiran media cyber (online) di bumi Nusantara.
Media online sudah banyak digandrungi “penikmat” berita. Sebab, informasinya lebih cepat dibandingkan dengan media cetak. Pun, mudah untuk bisa mengaksesnya, apalagi banyak dishare di sejumlah group Wathshap dan lainnya. Ini selaras dengan perkembangan teknologi masa kini. Tak ayal, banyak media cetak yang juga memanfaatkan “dunia cyber”.
Menjamurnya perusahaan media ini menuntut Sumber Daya Manusia (SDM) yang banyak pula. Maka, keberadaan wartawan atau jurnalis berjalan kelindan dengan pertumbuhan media itu, tumbuh subur. Akhirnya, Jurnalis dijadikan profesi yang memiliki peluang ” manis” untuk membuka ruang baru bagi pencari kerja.
Apabila dibandingkan pada saat saya pertama kali masuk sebagai Jurnalis, jelas sangat berbeda. Di akhir 2008 atau awal 2009 menjadi Jurnalis, masih sangat terasa “sepi”. Sebab, kala itu wartawan yang survive hanya bisa dihitung dengan jari, mungkin sekitar sepuluh atau lebih sedikit. Itu pun mereka bekerja di perusahaan-perusahaan yang sudah besar.
Maklum, kala itu menjadi Jurnalis tidak mudah, melainkan melalui proses seleksi yang panjang. Mulai dari tes akademik, tes tulis hingga tes psikologi pun dilalui. Kompetisi pun cukup ketat karena dilakukan dengan tim profesional. Sehingga, untuk menyandang predikat jurnalis harus menjadi yang terbaik dalam seleksi tersebut.
Maka, sangat wajar jika banyak Jurnalis “jadi” di saat itu. Sebab, prosesnya sudah dilakukan selektif mungkin, karena profesi wartawan sebagai pilar ke empat demokrasi merupakan mulia dan patut dijaga martabatnya. Sehingga, tidak ujug-ujug menjadi wartawan. Namun, alam kini berkata lain, menjadi wartawan begitu sangat mudah, dan siapapun dengan gampang menyandang predikat Jurnalis.
Terlepas dari semua itu, seorang Jurnalis harus mampu menyajikan produk berkualitas. Dengan tulisan yang bagus dengan bahasa Indonesia yang baik, mengacu pada kaedah EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Produk Jurnalistik yang dihasilkan harus selaras dengan UU Pers nomor 40/1999 dan kode etik Jurnalistik.
Maka, sebagai seorang Jurnalis setiap saat harus bisa mengevaluasi diri atas karya dan produk yang dihasilkan. Utamnya, pada kualitas tulisan yang ada, tidak terkesa justice (menghakimi) tetap menggunakan praduga tak bersalah. Termasuk, informasi yang disajikan cover both side (berimbang). Sebab, wartawan atau Jurnalis pasti akan dilihat dari produk jurnalistiknya.
Saat ini peningkatan kapasitas insan pers di perusahaan atau organisasi media hendaknya terus dilakukan. Baik dengan pelatihan, seminar, workshop atau hal lain yang bisa menciptakan kualitas pekerja pers ini. Sehingga, cita-cita ketua Dewan Pers Muhammad Nuh untuk menciptakan pers berkualitas bisa tersampaikan, dan bisa dilaksanakan oleh para Jurnalis.
Maka, tidak ada salahnya sesama Jurnalis untuk selalu bertukar pengetahuan atau sharing. Sebab, di profesi ini tidak ada yang superior dan inferior. Satu profesi, adalah satu frekuensi, yang saling melengkapi semua kekurangan agar kualitas tetap terjadi. Tak perlu saling menjatuhkan, bangkit bersama dan terus menuju lebih baik. Hidup Insan Pers. (**)